NASKAH TEATER
“
DEMANG LEHMAN ”
KARYA
: H. ADJIM ARIJADI
KELOMPOK
STUDI SENI
SANGGAR
BUDAYA
BANJARMASIN
2007
Demang lehman
Karya : H. Adjim Arijadi
Dramatic Personal :
Demang Lehman
Residen (Letkol
Verspijck)
Syarif Hamid
Pesuruh (Tubab)
Wanita Satu
Wanita Dua
Wanita Tiga
Dan Tokoh-tokoh
Masyarakat
NASKAH
BANJARMASIN, September 1986
DEMANG LEHMAN
Karya : H. Adjim Arijadi
SPACE A: MERUPAKAN SEBUAH RUANG KERJA
PERWIRA BELANDA BERPANGKAT LETNAN KOLONEL DENGAN JABATAN RESIDEN.
Di ruangan ini mengesankan bentuk dan
gaya Eropah, dengan peralatan yang terdiri dari: satu meja kerja lengkap dengan
korsinya, ada beberapa kursi lainnya untuk para tamu menghadap Residen.
Di atas meja kerja itu, terdapat
sebuah Globe, sebuah tongkat upacara, botol tinta lengkap dengan tangkai pena
yang terbuat dari bulu burung anggang.
Beberapa map berkas surat-surat
dokumentasi.
SPACE B: ADALAH TEMPAT KERANGKENG
YANG MEMBERI KESAN KAMAR TAHANAN. Di atas kerangkeng sekaligus bisa dirombak
menjadi level untuk menghukum mati seseorang. Itulah tiang gantungan tempat
menghukum gantung.
Pada balok palang tempat tali
tergantung, terdapat kain tergulung warna putih, yang pada saat-saat tertentu,
kain itu bisa diuraikan kebawah. Untuk menaiki level tempat gantungan itu,
tersedia trap atau anak tangga.
SPACE C: BERKESAN SEBAGAI RUANG
TUNGGU TEMPAT PARA TAMU DUDUK-DUDUK MENANTI GILIRAN MASUK KE RUANG KERJA
RESIDEN.
ADA SATU PAGAR YANG MEMISAHKAN RUANG
INI DENGAN RUANG DALAM.
SPACE D: ADALAH RUANG YANG AGAK
MENINGGI, TERLETAK AGAK JAUH DI BELAKANG. Ada anak tangga yang memberi kesan
untuk turun naik rumah yang bertiang tinggi. Di dalam ruangan ini terdapat
beberapa peralatan musik tradisional Banjar.
WAKTU, Di dalam abad ke-XIX yakni
pada tahun 1864 dengan tempat kejadian di kota tempat berdirinya kerajaan
Banjar, yakni Martapura di belahan selatan Pulau Borneo, atau Kalimantan
Selatan sekarang ini.
DALAM SOLILOQUE, SETIAP TOKOH YANG
BERHUBUNGAN DENGAN RUANG-RUANG INI, HADIR DALAM EXPRESSI AWAL DARI PERKEMBANGAN
WATAK.
1. SOLILOQUE PADA MASING-MASING SPACE
Dalang :
(Pada SPACE B) Pemerintah Gubernemen Belanda telah menjatuhkan putusannya, hukum gantung.
Wanita :
(Pada SPACE D) Yang digantung itu adalah salah seorang dari tokoh pejuang kami.
Demang Lehman
namanya.
Pesuruh :
Saya
kenal baik, dulu ketika kami masih jadi petani, namanya bukan Demang Lehman.
Tapi Idis.
Residen :
Sebuah
alun-alun di Martapura. Alun-alun Bumi Selamat. Kepala Pemberontak Riam Kiwa
dan Riam Kanan itu akan digantung,pada waktu sholat maghrib.
Syarif Hamid : (Pada SPACE C Tempat
Pesuruh Bertugas)
Masya Allah. Penghinaan!
2. MASIH PADA SPACE MASING-MASING.
Demang Lehman : Hakim Gubernemen, menurut pengakuan pribadinya, Saya dan
pengikut-pengikut saya dinyatakan tidak salah. Dan Hakim menjatuhkan vonisnya,
saya telah dibebaskan dari tuntutan jaksa.
Pesuruh : Bagaimanapun juga, saya harus mengulur-kan
lidah saya sepanjang-panjangnya dan tidak akan berbuat sebagaimana tuan hakim
yang agung itu. Saya merindukan hakim itu. Semoga saja arwah hakim itu mau
mengerti, bagaimana perasaan saya.
Demang Lehman : Hakim itu memaksakan perasaannya tapi tidak mau tahu apa kehendak
pemerintah Militernya Verspijk. Aspirasi rakyat di Banua Banjar ini, seharusnya tidak usah diperhatikan saja.
Wanita Satu : Perkiraan
cuaca hari ini bersuhu tinggi. Hakim yang memutuskannya. Kami semua tahu,
memang hakim yang memutuskannya Dan hakim itu adalah hakimnya pemerintah.
Residen :
Ya! Yang namanya Pemerintah Gubernemen
itu, ialah Saya! Dan yang memutuskan hukum gantung itu, memang Saya!
Syarif
Hamid : Memang sulit. Dan dari sudut
manakah agar putusan Verspijck ini dapat dibenarkan oleh penduduk pribumi. Yang
terdengar rakyat, bahwa hukum gantung itu, memang dilakukan oleh Belanda. Rakyat tidak mau tahu bagaimana putusan seorang Hakim dan bagaimana maunya
Residen.
Residen : Ya. Kita lihat saja nanti.
3. MASIH SOLILOQUE PADA SPACE MASING-MASING,
TAPI EKSPRESI LEBIH BERKEMBANG DENGAN MELIBATKAN SELURUH SARANA FISIK.
Demang Lehman : (Muncul dari dalam
kerangkeng dengan segulung tali di tangan-nya. Dinaikinya anak tangga dan
langsung menggantungkan tali itu pada palang balok yang sudah tersedia. Tali
itu siap menantikan leher orang yg akan digantung. Demang lehman menguji kekuatan
tali gantungan itu)
Sebentar lagi. Waktu antara Ashar dengan Maghrib
menurut perkiraan saya, tidak begitu lama.
Kata Residen yang Letnan Kolonel itu, bahwa
saya akan digantung, apabila bedug di mesjid
sudah berbunyi.
Syarif
Hamid : Masya Allah!
Demang
Lehman : (Mencoba mengalungkan jeratan
tali itu pada lehernya, cuma sebentar lalu dilepas kembali ).
Alternatif yang disodorkan Residen kepada
Saya adalah suatu kemustahilan.Memang aneh tapi tidak lucu.Saya punya
alternatif tersendiri. Hanya ada satu
pilihan yaitu mati digantung.
Dalang : Saudara-saudaraku satanah banyu dan sabanua Tidak usah takut, apabila alternatif ini saya Lemparkan ketengah-tengah forum mufakat dan
musyawarah tingkat nasional. Latar belakangnya tidak begitu banyak, yakni berkisar
dari kesalahan penguasa tanah banyu kita yang mendahului kita. Kesalahan para penghibah
waris kita sendiri. Baiklah kita buka
saja forum ini. Pembicara dalam termiyn
pertama cukup untuk beberapa orang saja.
Beberapa orang itu ialah mereka yang
memang pernah membeli saham dengan mata
uang Fortugis, Inggris, Cina, saudi
Arabia dan Belanda itu sendiri.
Maaf kalau dua
negara Adikuasa kami tempat kan sebagai petugas keamanan saja. (Kembali
menguji coba tali gantungan).
Demang
Lehman : Dangar-dangar
barataan, banua Banjar kalau kahada
dipalas lawan banyu mata darah, marikit dipingkuti Kompeni Walanda.
Wanita
Satu : Haram Manyarah
RAKYAT : Haram
Manyarah Waja Sampai Kaputing!
4. SOLILOQUY MENJELAJAH SELURUH LOKASI
SESEORANG : Dangar-dangar
urang kampung subarang manyubarang..... Dangar-dangar urang kampung barataan, nang
disubarang menyubarang batang banyu, isuk hari Jumahat sahabis bada,
diparintahakan bakumpul dialun-alun Bumi salamat Martapura.
Sabab pamarintah
Wolanda, handak manampaiakan dihukum gantungnya saikung panghianat, bangaran Demang
Lehman...... Dangar-dangar urang kampung subarang manyubarang batang
banyu.....Dangar-dangar.......
Wanita
Satu : Kita akan buktikan keberanian
kita. Besok akan kita buktikan, bahwa belanda tidak akan berhasil menghukum
mati tokoh pejuang kita itu.
Wanita
Dua : Siapa? Hei urang diseberang sana. Siapa yang akan digantung? Uuui,
siapa yang akan digantung. Kok tak ada
yang menyahutnya. Saya hanya mendengar canang yang dipukul orang. Dan antara
kedengaran dan tiada, bahwa seseorang akan digantung. Siapa. Siapa yang akan
digantung?
5. UNTUK SEMUA DALAM AREAL AKTING.
Wanita Dua :
Uuui.
Siapa yang akan digantung ? Uuui ........
Wanita Tiga :
(Muncul dengan buru-buru)
Wanita Dua :
Hei,
mau kemana buru-buru?
Wanita Tiga :
Maaf.
Mau cepat. Nanti keburu senja.
Wanita Dua :
Sebentar.
Kau mendengar pengumuman kemarin sore
Wanita Tiga :
Justeru
itu, Saya harus berangkat secepatnya.
Wanita Dua :
Nanti
dulu. Siapa yang akan digantung?
Wanita Tiga :
Bubuhan
kita di banua.
Wanita Dua :
Siapa?
Wanita Tiga :
Itu,
Demang Lehman.
Wanita Dua :
Demang
Lehman?
Wanita Tiga :
Sudahlah.
Tidak perlu tahu.
Wanita Dua :
Apakah
dia keluargamu?
Wanita Tiga :
Bukan.
Wanita Dua :
Lantas
kamu akan melihatnya.
Wanita Tiga : Semua
kita harus melihatnya.
Wanita Dua : Tapi
Demang Lehman itu, kan bukan keluargamu?
Wanita Tiga :
Iyya.
Bukan keluarga.
Wanita Dua :
Kalau
bukan sanak keluarga, untuk apa pergi melihatnya.
Yang menggantung itu siapa?
Wanita Tiga :
Wolanda.
Maaf saya harus pergi sekarang.
Wanita Dua :
Sebentar.
Apa kau Demang lehman itu? Bekal suamimu? Tapi jelaskan dulu, Demang Lehman yang mana?
Wanita Tiga :
Beberapa
tahun yang lalu, beliau sering ke istana. Pengawal pribadi Pangeran Hidayat. Dulu selagi
beliau tinggal dikampung, namanya Idis.
Wanita Dua :
U,
si Idis?
Wanita Tiga :
Iya,
suaminya Siti Zubaidah.
Wanita Dua :
Asytagfirullah.
Kalau begitu aku akan melihatnya Juga.
Wanita Tiga :
Mau
sama-sama?
Wanita Dua :
Berangkat
saja duluan. Aku menyusul.
Wanita Tiga :
Baik.
Saya duluan.
(buru-buru
melanjutkan jalan).
Wanita Dua :
Astaga.
Lupa lagi menanyakannya. Apa sebab ia digantung.
6. DI DALAM SPACE A DAN C
RESIDEN YANG LETNAN
KOLONEL ITU, SUDAH LAMA MENYIBUKKAN DIRINYA DENGAN BERKAS DOKUMENTASI. SATU
BERKAS BARU SAJA DIKOREKSI KEMUDIAN MENYUSUL BERKAS YANG LAIN LAGI. DIANTARA
KESIBUKANNYA ITU, TANGAN KIRINYA MERAIH BELL, LALU MENGGOYANGKANNYA.
Pesuruh :
(Beranjak dari tugas jaganya)
Syarif Hamid : (Hampir mendekati kebosanannya dalam menunggu)
Pesuruh :
Tuan
mendengarnya?
Syarif hamid : Ini
kesempatanmu yang baik. Katakan saja bahwa saya sudah sejak siang tadi
menunggu.
Pesuruh :
Kalau
bell itu memang berfungsi, ini berarti termiyn buat saya.
Residen : Termiyn
ini buat saya. (Kembali menggoyangkan bell).
Pesuruh :
Nah.
Ini jelas. Termiyn buat saya.
Residen :
(Kembali Menggoyangkan Bell)
Pesuruh :
Siap!
(Dari Ruang Tunggu Menuju Ruang Kerja)
Residen :
(Sambil mengepulkan asap pipanya, tidak peduli dengan munculnya pesuruh)
Pesuruh :
(Agak ragu apakah dia dipanggil tuannya)
Residen :
(Masih Menggoyangkan Bellnya)
Pesuruh :
(Meyakinkan Tuannya) Saya, saya sudah ada dihadapan tuanku. Apakah tuan memerlukan saya?
Residen :
(Masih tidak peduli)
Pesuruh :
Tuan
memerlukan saya?..... (Mendekat sedikit) Saya selalu disamping tuanku. Tuan memerlukan saya? (Lebih dekat
lagi dan bersuara lebih keras) Apakah
tuan memerlukan saya!
Residen :
Yah!
(Geram terhadap kebodohan pesuruh)
Pesuruh :
(Dengan segala pasrah dan ketaatannya bersujud dan memohon ampun atas kesalahannya)
Residen : Berapa kali sajakah, kamu orang bertanya,
hah? Dan berapa kali pula bel ini, memerintahmu? Untuk apa, ini bel hah? Coba
kamu orang, jawab! Untuk apa?
Pesuruh :
Sudah
tentu untuk saya.
Residen :
Ya,
untuk seorang pribumi yang paling bodoh. Tentu, (Menggoyangkan bel sebagai
penjelasan kepada pesuruh)
Hai Bodog! Tanpa bell ini, kau orang tidak
akan berguna bagi saya. Harus tahu itu. Mengerti .
Pesuruh :
Dan
saya sudah berada dihadapan tuan, tuan mau apa?
Residen :
Bangsat
kamu orang. Bahasa apa itu hah? Itu bahasa kami sehari-hari yang kami gunakan
untuk bangsat-bangsat seperti Demang Lehman itu. Kamu orang telah berani, pakai
itu bahasa untuk saya, hah?
Pesuruh :
Ampun
beribu ampun tuanku. Dengan jujur, saya mentaati tuan. Kalau bahasa itu saya pakai,
karena saya menganggapnya, bahwasanya, bahasa tuan itu, memang bagus. Saya senang
dengan bahasa tuan.
Residen :
Begitukah?
Senang dengan bahasa kami. Gud, Gud.
Pesuruh :
Hop
Perdom!
Residen :
Betul-betul
bangsat! Tubab!
Pesuruh :
Saya
tuan.
Residen :
Kamu
orang selalu salah gunakan itu kami punya bahasa.
Pesuruh :
Kami
orang, memang tolol tuanku.
Residen :
Masih
ingat bahasa bell ini?
Pesuruh :
Sudah
mendarah daging tuanku.
Residen : Gud,
gud. Saya akan coba menguji kamu orang.
Pesuruh :
Saya
orang coba akan menjawab tuan punya bunyi bell.
RESIDEN DALAM PERINTAHNYA MELALUI BELL
DITANGANNYA.
BELL 1 KALI :
Pesuruh Hormat Mendekat Dan Mengulur Kan
Tangan Menerima Sesuatu.
BELL 2 KALI :
Mundur Menjalankan Tugas Mengantar Sesuatu.
BELL 3 KALI :
Urung Dan Kembali Menghadap Ingin Tahu.
BELL 1 KALI :
Kembali Hormat Mendekat Menerima Sesuatu.
BELL 2 KALI :
Mundur
BELL 3 KALI :
Segera Menghadap.
BELL 2 KALI :
Mundur Dan Menghilang.
BELL 3 X 2 :
Buru-Buru Menghadap.
DENGAN BERMACAM KODE
BELL, SI PESURUH DIBUAT TERENGAH-ENGAH SAMPAI KEHILANGAN TENAGA DAN MERAYAP
LEMAS DI ATAS LANTAI.
Residen :
(Akhir Goyangan Bell Ditutup Dengan Hentakan
Sepatu Botnya)
Pesuruh :
(Mencoba merangkak dan menciumi ujung sepatu
tuannya)
Syarif Hamid :
(Dari kejemuannya, lalu mengetuk pintu)
Bell 2 kali :
(Pesuruh hampir kehilangan tenaga menuju ruang tunggu).
Residen :
(Pelan-pelan melihat alun-alun lewat jendela).
Syarif Hamid :
(Membantu pesuruh yang lelah itu) Kamu dipukuli?
Pesuruh :
Tidak.
Syarif Hamid : Habis? .... kamu berkeringatan. Disiksa tuanmu?
Pesuruh :
Tidak.
Syarif Hamid :
Kalau
bukan disiksa, kenapa mau mati?
Pesuruh :
Saya
tidak disiksa. Dan saya tidak akan mati!
Syarif Hamid :
O,
ya. Saya mengerti.
Pesuruh :
Kalau
tuan sudah mengerti, kenapa mesti bertanya.
Syarif Hamid :
Kamu
kira saya takut ? Laa, laa (Mau Masuk).
Pesuruh :
Jangan.
Jangan tuan lakukan itu.
Syarif Hamid :
Kalau begitu, bilangkan kepada tuanmu.
Saya datang kemari, karena ada janji. Bilangkan sama tuanmu, saya ini Syarif
hamid datang dari Batu licin.
Residen :
(Penuh Perhatian) Syarif Hamid?
(Menggoyang
Bell 3 X 2)
Pesuruh :
(Bangkit Dan Masih Lemas) Terlalu. Sekarang tuanlah yang menyiksa saya.
(Memasuki
Ruang Kerja , Masih Lelah)
Residen :
Suruh
orang diluar itu masuk.
Pesuruh :
Dia
musuh saya.
Residen :
(Dengan abah-abah membolehkan masuk).
Pesuruh :
(bertenaga kembali) Disuruh masuk?
Residen :
Ya,
suruhlah.
Pesuruh :
Dia
musuh saya tuan. Dia juga musuh tuan! Orang itu bersenjata besi tua. Dia
berbahaya tuan!
Residen :
(Ngotot..... lalu bell perintah lagi)
Pesuruh :
(Hampir lemas menjalankan perintah)
Baik! Baik!
Residen :
(Kode bell perintah cepat)
Pesuruh :
(Setengah berlari menuju ruang tunggu)
Syarif Hamid :
Apa
kata tuanmu.
Pesuruh :
Karena
ruang kerja Boss saya, tidak dilindungi oleh dinding anti peluru, maka saya
minta agar tuan menyerahkan besi tua milik tuan itu.
Syarif
Hamid : (dengan rasa jengkel, lalu menyerahkan kerisnya yang terselip
dipinggangnya) Keris ini bukan untuk
berkelahi tahu?
Pesuruh : Saya
tidak mau tahu. Yang jelas, disini tidak diperbolehkan membawa senjata tajam.
Ada punya KTP.
Syarif Hamid :
Terlalu!
Buka matamu. Lihat cincin ini.
Pesuruh :
Ini
bukan KTP. Ini cap stempel.
Syarif hamid :
Kau
tahu. KTP diwilayah kami, baru bisa dianggap syah, kalau memakai cap kerajaan
ini.
Pesuruh :
Satu
lagi. Ada membawa ganja.
Syarif Hamid :
Saya
bukan penyelundup. Ganja barang haram. Sama haramnya dengan kumpul kebo.
Residen :
(Bell Perintah Cepat)
Pesuruh :
Mmmhh!
Mentang-mentang kenal baik dengan atasan saya.
Syarif hamid :
Boleh
masuk nggak?
Pesuruh :
Boleh.
Tapi selama tiga menit saja.
Syarif Hamid :
Permisi
(Berolok-olok membuat pesuruh jengkel).
Pesuruh :
(Merasa dipojokkan) Tunggu saatnya.
Diluar jam dinas, toh nanti akan ketemu juga.
Syarif Hamid :
Selamat
sore.
Residen :
Sore.
Syarif hamid (Menjabat tangan Syarif Hamid). apa kabar?
Syarif Hamid :
Baik.
Residen :
Kenapa
baru datang sekarang?
Syarif Hamid :
Sudah
tiga hari bertutur-turut saya datang kemari dan menunggu giliran diruang
tunggu.
Residen :
O,
ya.
Syarif Hamid : Residen,
sebagai orang yang bertugas ikut memelihara stabilitas keamanan didaerah ini,
justru senjata saya harus dirampas.
Residen :
Kamu
orang, terkena razia?
Syarif Hamid :
Sebagai
seorang bangsawan, saya harus membawa senjata pusaka bukan?
Residen :
Kemudian
disita oleh petugas saya? Kamu lihat sendiri. Saya seorang residen. Pangkat
saya Letnan Kolonel. Apakah saya harus membawa senjata api?
Syarif Hamid : Kita
kan sudah sama meyakini. Dengan terbekuknya Kiai Demang Lehman itu, tanah Borneo
ini sudah bisa dikatakan aman.
Residen :
Tapi
dengan gerombolan Pegustian di hulu Barito itu?
Syarif Hamid :
Cuma
daerah tanah rawa. Gusti Mat Seman, tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Residen :
Saya
akan basmi itu gerombolan bangsat. Berapa ribu saja prajurit kami yang tewas.
Terbilang sejak mereka menghancurkan benteng dan sumber perekonomian kami di Pengaron
lima tahun setengah yang lalu, sudah hampir dua ratus oarang opsir kami yang
dibikinnya mati konyol! Dan sekarang, dendam itu harus saya tunjukkan kepada mereka!
Syarif Hamid :
Saya
ikut prihatin, dengan tenggelamnya kapal perang Onrust di Sungai teweh itu.
Residen :
Kerugian
itu, tidak akan terulang lagi. Kolonel Andersen, bukan orang seperti saya. Dia
lembek seperti bakecot. Tapi saya akan musnahkan itu benteng-benteng mereka.
Akan kami bumi hanguskan itu tanah banua mereka. Kalau hutan rimba Aceh dapat kami jelajahi, kenapa hutan
Borneo ini tidak.
Syarif Hamid :
Lalu,
apakah dengan bantuan yang saya berikan itu, mempunyai arti bagi tuan?
Residen :
Tentu,
tentu. (mengambil sepucuk surat diantara
tumpukan berkasnya). Kau tahu isinya ini bukan?
Syarif Hamid :
Saya
sudah tahu. Dia akan digantung sore ini?
Residen :
Kamu
sudah lihat bukan. Disekeliling alun-alun itu, sudah dipenuhi orang-orang.
Syarif hamid : (Melihat keluar jendela) Orang tua, anak-anak, laki-laki dan wanita. Sudah sejak pagi mereka
berada disekeliling alun-alun itu. Tapi kapan?
Residen :
Masih
ada waktu dua jam lagi.
Syarif Hamid :
Dua
jam lagi? (Mengambil arloji sakunya)
Sekarang sudah jam empat.
Residen :
Tepat!
Syarif Hamid :
Di
saat sholat maghrib?
Residen :
Begitu
bedug dimesjid sudah ditabuh. Dan suara azan sudah berkumandang, saat itulah ia
harus mati!
Syarif Hamid :
Saya
keberatan.
Residen :
Apakah
keberatan kau orang, mengatas namakan persekutuan
dagang bangsa Arab?
Syarif Hamid :
Tidak
sama sekali.
Residen :
Pribadi?
Syarif Hamid :
Juga
bukan.
Residen :
Lalu
apa?
Syarif Hamid :
Tuan Residen. Pemerintah Gubernemen hanya
didukung oleh senjata dan mesiu. Dan pusat pemerintahan hanya berupa selingkar
pulau Tatas di Banjarmasin. Tapi semua itu, tidak akan mampu mengambelaskan
penduduk pribumi yang seluruhnya beragama Islam.
Residen :
Persoalan
ini berkisar mengenai hukum gantung. Lantas apa sangkut pautnya dengan agama?
Syarif Hamid :
Mengapa
harus diwaktu sholat maghrib?
Residen :
Kamu
orang ikut merasakannya, bahwa tindakan yang akan saya lakukan ini, adalah
suatu tindakan yang kurang wajar bukan.
Syarif Hamid : Bukannya
kurang wajar. Tapi tidak wajar sama sekali.
Residen :
Timing
yang tepat. Saya gembira.
Syarif Hamid :
Tuan akan puas sendiri. Tapi sementara
itu, berpuluh ribu ummat Islam merasa terhina.
Residen : Syarif
Hamid. Ini kebijaksanaan pemerintah Gubernemen.
Syarif Hamid :
Tapi
persekutuan ummat Islam sedunia, akan mencela bangsa tuan.
Residen :
Kamu
orang bukan orang kami. Dan tidakkah kamu tahu, bahwa cara ini, adalah suatu bled.
Tapi kalau toh ingin dipandang dari sisi agama, semua ulama sudah mulai akrab dalam
pemerintahan kami. Dengan Enam Ribu Sembilan Ratus Enam Puluh empat Gulden yang
disumbangkan untuk kepentingan Mesjid Jami di Banjarmasin, adalah satu sisi
untuk perhatian kami pada agama.
Syarif Hamid :
Dan
rasa simpati itu, segera akan lenyap apabila Tuan menggantung Demang Lehman
yang kiyai dan yang alim itu, disaat ummat Islam menjalankan ibadahnya.
Residen :
Tapi
rakyat sudah tahu, siapa Demang Lehman itu. Para ulama dan seluruh penduduk
telah mengutuknya.
7. PADA LOKASI D TAMPAK KERUMUNAN PRIBUMI, YANG
MULAI RESAH DAN BANGKIT MENGARAH PADA
KEMARAHAN.
Wanita Satu : Perlawanan
di daerah Martapura bisa dilumpuhkan. Dan seorang Demang Lehman bisa saja
Walanda gantung. Tapi yang bernama pahlawan haram Manyarah Waja Sampai
Kaputing, masih banyak kita miliki.
Haram Manyarah, Waja
sampai Kaputing...!!!
Orang-orang :
Haram manyarah, Waja Sampai Kaputing!!!
LOKASI LAIN
Wanita Tiga : Kita
tidak akan biarkan Demang Lehman itu digantung. Kita harus protes. Apabila kita
diam, berarti kita kalah dan menyerah.
Dan menyerah itu haram.
Wanita dua : Hei,
cara seperti itu berbahaya. Jangan terang-terangan.
Wanita Tiga :
Sekarang
inilah saat yang cocok bagi kita. Kita tidak boleh bungkam. Kita harus unjuk
rasa kepada Wolanda. Biar mereka tahu siapa kita. Ayoh mari kita bergerak.
Wanita Dua :
Jangan.
Ayoh, jangan ikut-ikutan. Berbahaya buat kita. Kita akan ditembak mati.
Wanita Tiga :
Saya
tidak akan mengajak seorang penakut seperti kamu. Bebaskan Demang lehman.
Bebaskan Demang Lehman.
Orang-Orang :
Bebaskan
Demang Lehman. Bebaskan Demang Lehman.
Wanita Dua :
Tenang!
Tenang!
Wanita Tiga :
Kamu
takut?
Wanita Dua : Ini
bukan soal takut. Tapi kita Cuma orang kampung.
Wanita Tiga :
Lantas
karena kita merasa sebagai orang bodoh, lalu kita harus membisu? Dimata
penguasa, kita orang kecil.
Wanita Dua :
Tapi
bila kita datang dengan adat leluhur kita?
Wanita Tiga : Takaran
kehormatan bagi penguasa, bukan terbatas pada adat. Saya akan lakukan sebisa
saya.
Wanita Dua :
Kamu
akan korbankan harga dirimu?
Wanita Tiga :
Yang
akan kulakukan, Cuma memohon keampunan pada penguasa.
Wanita Dua :
Lantas
apa yang bisa kau berikan kepada penguasa sebagai imbalannya?
Wanita Tiga :
(Kepada yang lain) Hei kamu..... Apakah kamu bersedia
membantu saya?
Wanita Lain :
(Menggelengkan kepalanya) Saya ingin hidup, dengan cara saya sendiri.
Wanita Tiga :
Kamu
rela bila orang kamu puja-puja itu, mati digantung hari ini?
Wanita Lain :
Bila
Demang Lehman harus mati hari ini, maka saya harus hidup bersama semangatnya.
Wanita Tiga :
Mmmhhh....Omong
kosong. Kanapa tidak seorangpun yang membantu Demang Lehman? Apa kalian tidak
sadar, bahwa Demang lehman akan dibunuh hari ini .
Wanita Dua :
Semua
orang sudah tahu. Saya juga sudah kamu beri tahu. Dan, dan saya ingin lihat,
bagaimana wajah seorang pahlawan menghadapi tiang gantungan itu.
Wanita Tiga :
Kamu
kira, kejadian sedih hari ini, Cuma sebuah sandiwara? orang tak punya perasaan.
Kita harus menyematkannya. Kita harus menyelamatkannya.
Wanita Dua :
Bisa
saja. Demang Lehman bisa asaja selamat dari tiang gantungan. Semua kita sudah
mengetahui. Dan semua kita sudah bisa menebaknya. Yang menjadi masalah
sekarang, apakah Demang Lehman bersedia digantung atau tidak. Nah, kalau tidak
apa akibatnya. Tapi kalau Demang Lehman siap
dengan kepahlawanannya, dengan memilih mati umpamanya,apa pula keburukannya
bagi perlawanan rakyat.
Wanita Tiga :
Bagiku
Demang Lehman harus tetap hidup. Dan saya akan beranikan diri menghadap
penguasa.
Wanita Dua :
Bisa
saja. Tapi kamu harus ingat, iming-iming sang penguasa, Cuma sebuah siasat
dalam merekatkan pantatnya dibantalan korsi jabatannya. Tapi setelah itu, kamu
Cuma sebiji pasir ditanah gurun.
Wanita Tiga :
Tidak
usah berdalih macam-macam. Ayoh, siapa yang punya kasih sayang kepada pahlawan
kita, ikut bersama saya. (Semua diam).
Bebaskan Demang Lehman (Diam tak
bersambut) Baik-baik. Kalian akhirnya
menyukai kematian Demang Lehman itu.
Wanita
Dua : Kita bisa teriak, bebaskan Demang
Lehman....... Bebaskan Demang Lehman, tidak berarti ia mesti lepas dari tiang gantungan.
Tapi dengan kematiannya, justru Demang Lehman bebas menyusupkan semangatnya ke setiap
pembuluh nadi masyarakat Banjar yang tidak ingin diperintah dan diatur oleh orang-orang yang
bukan miliknya dan pilihannya.
Wanita Tiga :
Saya
tidak mau tahu, dengan bahasa yang tidak dimengerti itu. Baik. Saya akan maju
sendiri (EXIT)
Wanita Dua : Saya
berani bertaruh, dia akan menyesal................
(Kepada
Yang Lain) Kalian mengerti maksud saya? Kita
boleh teriak, bebaskan demang Lehman, tapi arti dari itu semua, bukan bersandar
pada kulitnya. Kita berteriak sepuas hati kita, dengan maksud agar semangatnya
segera kita miliki. Kita tidak ingin mendapatkan pemimpin yang diperoleh lewat
suara terbanyak, kalau pemimpin itu tidak siap menerima kejatuhannya lewat
suara terbanyak pula. Nilai suara kita tidak sama dengan harga sebiji permata. Suara
bukan barang dagangan. Nah sekarang, mari kita teriak dengan memanipulasi suara
kita,agar sang penguasa mengira bahwa suara kita telah dibayar mahal oleh pemimpin
kita yang hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Bebaskan Demang Lehman!
Orang-orang :
Bebaskan
Demang Lehman! Bebaskan Demang Lehman!
8. PADA SPACE RUANG KERJA. TUBAB BURU-BURU
MEMBUBARKAN KEKACAUAN DI SEKELILING ALUN-ALUN
Pesuruh : Tuanku.
Penonton di sekeliling Alun-alun itu pada marah tuanku. Mereka teriak; Bebaskan
Demang Lehman, Bebaskan Demang Lehman!! (Seperti kesurupan).
Residen : (Marah Dan Membentaknya)
Diam.....!!!
Syarif Hamid : (SINIS)
Apa benar semua pribumi itu, mengutuk
orang kesayangan mereka?
Residen : Saya
tidak butuhkan ucapan seperti itu (Dongkol)
Syarif Hamid : Lebih-lebih
dengan hukum gantung di saat Sholat Maghrib.
Residen : Syarif
Hamid, kamu orang tidak usah campuri kami punya pemerintahan.
9. PADA LOKASI LAIN. ORANG-ORANG MAKIN BERGOLAK
Wanita Satu : Bebaskan
Demang Lehman!
Orang-orang : Bebaskan Demang Lehman, Bebaskan Demang
Lehman....!!!
10. DI SPACE RUANG KERJA
Pesuruh : Tuanku!
Residen : Tubab! (Menulis
perintah dan menyerahkannya pada pesuruh) Surat
Perintah, Menembak Mati!
Syarif Hamid : Tidakkah
Tuan akan menyesal?
Residen : Siapa
saja yang melanggar pos penjagaan, Tembak Mati..!!
Pesuruh : (Diam saja)
Residen : Tubab!
Pesuruh : Siap
menunggu Bell Tuanku.
WANITA TIGA DENGAN MENDADAK MUNCUL DI RUANG
KERJA
Residen : Siapa
pula Kamu orang, hah?
(Menggoyangkan
bell untuk pesuruh)
Pesuruh : (Taat menjalankan perintah)
Residen : (melihat kelembutan wajah wanita itu,
amarahnya agak mereda) Kamu orang perlu
saya?
Wanita Tiga : Betul
tuan.
Residen : Saya
kagum. Kamu orang sungguh berani, masuk ke tempat ini. Kamu orang tidak mungkin
tahu, bahwa tempat ini, tempat terlarang.
Wanita Tiga : Saya
tahu Tuan.
Residen : Kamu
orang perlu apa, hah?
Wanita Tiga : Tuan
akan menggantung orang kami bukan?
Residen : Saya
kurang tahu, dengan orang yang kamu maksudkan itu.
Wanita Tiga : Nama
kecilnya Idis.
Syarif Hamid : Ooo,
yaa. Namanya yang benar, memang Idis. Maksud dia, Kiai Demang Lehman.
Residen : Syarif
Hamid. Belajarlah dengan tata cara yang baik dan sopan. Saya tidak bicara
dengan kamu orang bukan?
Syarif Hamid : Saya
yakin unjuk rasanya wanita ini, akan menyuarakan aspirasi pribumi yang terluka.
Residen : (Diam sejenak sambiul memandang syarif hamid
dengan rasa dongkol. Kemudian mengambil sebuah amplop berisi surat)
Tuan Syarif Hamid. Kamu orang sudah tahu
isinya ini bukan?
Syarif Hamid : Itu
soal nanti.
Residen : Syarif
Hamid! Apa maumu sebenarnya, hah?
Syarif Hamid : Kalau
tidak mungkin dibatalkan, maka saya mohon janganlah menggantung dia, di saat
sholat maghrib.
Wanita Tiga : Rupa-rupanya,
Tuan punya keinginan yang sama.
Residen : Keinginan
apa yang Kamu maksudkan?
Wanita Tiga : Hukuman
gantung itu.
Residen : Kamu
orang menghendaki, agar segera dilaksanakan?
Wanita Tiga : Bukan.
Berilah dia keampunan.
Residen : Saya
sudah suruh dia, agar memilihnya.
Wanita Tiga : Tuan
telah memberi kesempatan kepada Dia?
Residen : Tapi
Demang Lehman itu, seorang bangsat yang teramat tolol.
Syarif Hamid : Tuan
adalah sahabat Saya
Wanita : Agaknya
keramahan Walanda, jauh berbeda dengan kenyataan yang tersiar di kalangan
penduduk.
Residen : O, ya.
Begitu?
Syarif Hamid : Legalah
jadinya perasaan saya.
Residen : Dan
kamu orang akan lebih lega lagi, menandatangani surat kesepakatan ini.
Syarif Hamid : Yang
jelas saya akan terlepas dari dosa-dosa yang selama ini menghantui saya.
Residen : Kamu
orang boleh baca, baru ditanda tangani, Okey?
Syarif Hamid : Terima
kasih. (Menerima surat itu lalu meneliti isinya dsan duduk di tempat yang
disediakan oleh residen).
Residen : Boleh
saya tahu, siapa nama kamu?
Wanita Tiga : Komalasari
Tuan, Siti Komalasari.
Residen : Ou...Nama
yang bagus!
Wanita Tiga : Ee,
Tuan Residen
Residen : Tidak
perlu sebutkan itu......Residen. Nama saya Verspijck
Wanita Tiga : Ee,
Tuan Verspijck. Jadi tuan telah memberinya keampunan?
Residen : Saya
selalu berbuat baik terhadap dia. Tapi kita tidak usah dulu bicara tentang dia.
Kita punya waktu masih cukup banyak.
Wanita Tiga : Tuan
telah melihat di sekeliling alun-alun itu bukan?
Residen : Saya
melihatnya. Saya melihat orang-orang yang haus sekali dengan hiburan.
Wanita Tiga : Tuan
kira mereka akan menghibur diri?
Residen : Tentu
saja mereka ingin tahu, bagaimana cara orang mati digantung.
Wanita Tiga : Kekejian
seperti itu Tuan katakan hiburan?
Residen : Kamu
tidak menyukainya?
Syarif Hamid : Sikap
yang bagaimana pula, yang Tuan maksudkan itu?
Residen : Kamu
sudah baca?
(Mendekati
meja kerjanya dan mengambil tangkai pena kemudian menyerahkannya kepada syarif
hamid)
Kalau isinya sudah
cocok, silahkan menandatanganinya.
Syarif Hamid : Sebentar.
Kita akan selesaikan terlebih dahulu, mengenai janji pengampunan itu.
Wanita Tiga : Itu
betul!
Syarif Hamid : Tuan Residen. Saya ingin tahu, bentuk bentuk pengampunan yang tuan
berikan itu.
Residen : Syarif
Hamid. Jangan dulu Kamu campuri urusan kami dengan perempuan ini. Kamu toh
todak punya kepentingan.
Syarif Hamid : Kenapa
Tuan harus berkata seperti itu. Tuan harus menyadari, kalau bukan karena saya,
tidaklah akan terjadi surat kesepakatan itu. Ketahuilah, Kiai Demang Lehman
itu, adalah urusan Saya juga.
Wanita Tiga : Saya
tidak mengira, bahwa seoranmg Bangsawan
Arab telah mendahului saya untuk membebaskan orang kesayangan kami.
Syarif Hamid : Kalau
Nona mau tahu, Saya sudah tiga hari yang lalu datang ke tempat ini. Dan pada
hari kedua, saya juga gagal. Baru sekarang saya bisa bertemu dengan Tuan
Residen.
Wanita Tiga : Saya
sangka , Cuma rakyat Banjar yang
membutuhkan tokoh Kiai Demang Lehman. Tetapi dari bangsa Arab pun rupanya punya
rasa simpati yang menggembirakan.
Residen : Kami
juga punya rasa kasihan kepada orang yang kamu rindui itu. Bukan itu saja,
tetapi untuk seluruh anak negeri Banjar ini.
Wanita Tiga : Kalau
Kiai bisa dilepaskan dan dibebaskan sekarang ini, maka semua anak negeri kami
akan bersuka hati. Apakah mungkin dapat dibebaskan sekarang?
Residen : Saya
sudah tawarkan kebebasan
Wanita Tiga : Tuan
seorang yang baik.
Residen : Tapi
Dia menolak persyaratan yang saya sodorkan.
Wanita Tiga : Syarat
apakah itu, tidak berat bukan?
Residen : Enteng
sekali.
Syarif Hamid : Kalau
sekedar uang tebusan atau berupa upeti misalnya, saya akan membantu nona.
Residen : Itu
tidak kami butuhkan. Dengan garapan hasil hutan, hasil kebun dan hasil tambang
di negeri ini, sudah cukup menguntungkan bagi Hollandia.
Wanita Tiga : Lantas,
kehendak Tuan? Ee, maksud Saya persyaratan yang Tuan minta itu.
Residen : (Menunjuk pulau pada globe). Mari mendekat. Ini kepulauan Nusantara.
Java, Selebes dan ini Borneo.
Borneo ini
kelihatannya saja seperti sebuah hutan rimba. Kami kira kami bangsa Belanda
datang ke pulau ini, hanya akan berperang dengan orang hutan dan gerombolan
bekantan. Di sini tanah Kutei. Borneo Barat. Dan ini daerah yang dulunya cuma Onder
Afdeeling, yang sekarang ini menjadi Residentie Zuider-en Ooster Afdeeling van
Borneo. Di sini Benteng Pengaron pernah dihancurkan oleh gerombolan Antasari
dan Hidayat. Sumber perekonomian kami berupa tambang batu bara Oranye Nassau
dan Yuliana Hermina, telah amblas. Dalam peristiwa yang mendatangkan korban
oran kami itu, adalah pangkal dakwaan dan tuntutan yang memberatkan Demang
Lehman yang kamu bela ini. Dalam putusan kami, semua orang pribumi yang
terlibat dalam awal perang Banjar itu, harus dihukum mati! Banjermasin Sechkrej
yang gila! Tapi baiklah, kita lewatkan saja.
Sekarang, Antasari
yang mengaku pemimpin Haram manyarah Waja Sampai Kaputing itu, sampai ia mati
tua, tidak juga mau menyerah. Hidayat telah kami tipu, dan kami lempar ke tanah
Cianjur. Tamjid, kami turunkan sebagai Sultan dan juga telah kami buang.
Kemudian Banjar sebagai salah satu kerajaan besar di Borneo ini, telah kami
hapuskan. Tapi Gusti Muhammad Seman dan Gusti Mat Said Putra dari Antasari itu,
malah melanjutkan berdirinya kerajaan Banjar yang telah didirikan oleh Antasari
itu sendiri di Hulu Sungai Teweh. Gila! Dan kini pemberontakan masih ada saja.
Mau apa? Tumenggung Surapati dengan puteranya Jidan yang Dayak itu, masih juga
mengamuk di Barito. Penghulu Rasyid di Tabalong. Tumenggung Antaluddin di
Amandit. Naro di Amuntai. Si Wangkang di Bakumpai. Dan si Kancil Haji Buyasin
di Tanah Laut. Mau apa mereka sebenarnya. Dan kenapa mesti berbuat gila. Tapi
itu bukan problem. Toh, mereka itu satu satu akan kami gantung juga.
Wanita Tiga : Artinya
tuan akan tetap menggantung Kiai Demang Lehman?
Residen : Harga
Demang Lehman ini, hampir sama dengan harganya Pangeran Antasari. Antasari
sampai dia mati, tidak pernah kami temukan. Tapi yang menemukan Demang
Lehmanini, sudah kami beri sebuah wilayah kerajaan di daerah Batu Licin, yang
kaya dengan hasil hutannya.
Syarif Hamid : Coba
tuan katakan, persyaratan itu.
Residen : Kamu orang
mau menghindarinya, hah?
11. DARI LOKASI SPACE D, RAKYAT MULAI BERGOLAK
LAGI. WANITA SATU BERSAMA RAKYAT BANGKIT SETELAH MENDENGAR OCEHAN WANITA DUA.
Wanita Dua : Katanya
ingin membebaskan Demang Lehman. Tapi ia sendiri tenggelam entah dimana.
Mungkin juga akan.......atau mungkin sedang atau barangkali sudah.
Saya dapat
memastikannya. Perempuan itu pasti seorang jalang. Dia telah ambil kesempatan
menjual nama seorang pahlawan. Dia rupa-rupanya telah berhasil menjajakan
kehormatannya. Dia seorang maling, berpura-pura seperti orang alim.
Omong kosong!
Penghianat hati nurani rakyat! Saya harus bergerak sendiri. Bebaskan dia.
Bebaskan Demang Lehman.
RAKYAT : Bebaskan Demang Lehman. Bebaskan...!!!
12. DI DALAM SPACE A DENGAN SEBUAH MERIAM LILA
Pesuruh : Coba
saja kalau berani maju. Saya hamburkan otaknya.
13. KEMBALI PADA SPACE A DI RUANG KERJA ASISTEN
RESIDEN. SYARIF HAMID MAKIN TAMPAK GELISAH, SEMENTARA WANITA TIGA AGAK
KEHERANAN.
Residen : Syarif
hamid, kamu orang jangan banyak mendesak saya. Dan kamu Komalasari, tidak perlu
tercengang, apalagi bercuriga pada Syarif Hamid ini.
Syarif Hamid : Barangkali
Tuan, tidak merasa kasihan terhadap nenek-nenek dan ibu-ibu yang menggendong
anak-anaknya di sepanjang keliling alun-alun itu. Berapa orang saja yang
pingsan dan luka-luka terkena injak dan saling berjejal.
Wanita Tiga : Apakah
Tuan perkenankan, apabila saya berbicara dengan Kiai Demang Lehman?
14. PADA SPACE RUANG TUNGGU: PESURUH MENERIMA
KEDATANGAN SEORANG PRIBUMI YANG MENYERAHKAN SEPUCUK SURAT BALASAN.
Pesuruh : (Menerima Lalu Mengusir Pribumi Itu.
Selanjutnya Surat Itu Ia Sampaikan Kepada Asisten Residen)
Residen : Kamu
orang tidak saya panggil bukan? Apa kamu mendapat perintah Bell? Tubab, apa
keperluanmu, hah?
Pesuruh : Ada ini
Tuan.
Residen : Bawa
kemari.......Tubab. Kenapa diam.
Pesuruh : Belum
ada perintah bellitu Tuan.
Residen : Bodog...!!!
(Langsung menghentakkan bell)
Pesuruh : (Setelah menyerahkan surat langsung menuju
pintu ruang jaga)
Residen : (Membaca surat)
Kepala Pemerintahan, atas nama Kepala Agama
dan atas nama Panglima Perang. Gusti Mat Seman, Raja Banjar. (SINIS). Seperti apa Mat Seman itu. Dan sampai dimana
kecerdasan dan keahliannya, sampai begitu banyak jabatan yang dimilikinya. Atau
memang orang banua banjar, tidak memiliki orang pinter, yang menyebabkan si Mat
Semat itu menyandang banyak jabatan. Mungkin juga karena memang tidak ada orang
lain.
Itu berarti, kerajaan
Banjar. (Membaca
Lagi)..........Mmmmhhh. Orang keras
kepala. Kenapa begini? Kerajaan banjar di hulu Puruk Cahu, telah menempatkan
kepentingannya di atas pundak Demang Lehman? Tetapi mereka tetap tidak akan mau
menyerah, sekalipun Demang Lehman itu digantung. Apakah begini ini dinamakan
Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing?
Mat Seman tidak akan
mau menyerah, kalau tidak Demang Lehman itu sendiri yang membuat pengakuan
menyerah?
Baik. Kalau memang si
Berandal Mat Seman akan mematuhi semua bentuk pengakuan Demang Lehman itu, maka
kepada kamu Komalasari saya berikan kesempatan untuk berbicara dengan Demang
Lehman itu. Tapi ingat bedug di Masjid sebentar lagi akan berbunyi. Kamu harus
mampu meruntuhkan pendiriannya yang keras seperti batu itu. Demang Lehman harus
mengakui kesalahannya. Demang Lehman harus mau meminta maaf dan mengomandokan
dibubarkannya pemberontakan rakyat. Mengerti?
Wanita Tiga : Terima
kasih. Saya akan penuhi keinginan Residen
Residen : Lagi-lagi
Residen, masih juga lupa, hah?
(Memerintahkan
tubab) Tubab. Seret Berandal Demang Lehman itu kemari.
Tubab : Bagaimana
dengan bahasa bel itu?
Residen : Masa
bodoh dengan bell itu! Laksanakan!
Tubab : Siap!
(Surut menuju karangkeng)
Syarif Hamid : Residen.
Kalau Demang Lehman itu akan dibawa ke ruangan ini, tidakkah lebih baik kalau
saya menghindar dulu?
Residen : Kamu
takut?
Wanita Tiga : Mungkin
dengan nasihat dan dorongan Tuan, akan lebih menguntungkan. Saya lebih suka
kalau Tuan ikut menasihatinya.
Syarif Hamid : Yah,
Saya akan menasihatinya. Tapi nanti. Maaf Residen. Nona, saya menunggu giliran
di luar sana. (EXIT)
Residen : Ha ha
ha....... Ternyata dia tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya
sendiri.
Tubab : (Muncul) Berandal
Demang Lehman, siap dihadapkan.
Residen : Gud!
Bawa Dia masuk.
Tubab : (Agak kasar) Kamu orang jangan kurang ajar. Hei, Berandal, jangan bercekik pinggang
di sini!
Demang Lehman : (Tiba-tiba marah) Bangsat (Meludahi) Anjing Kompeni...!!!
Tubab : (Ingin bertindak, tapi dicegah residen)
Residen : Tubab.
Biarkan dia kurang ajar! Demang Lehman....
Demang Lehman : Saya sudah tahu, apa kehendak kamu.
Residen : Baik.
Saya telah tawarkan untuk yang terakhir kalinya.
Demang Lehman : Tembaklah dia di hadapan saya.
Residen : Saya
tidak akan memaksamu, dengan cara yang sudah saya lakukan.
Demang Lehman : Berapa kau bayar dia.
Residen : Sepeserpun
dia tidak punya harga bagi saya. Dia datang kemari dengan mempertaruhkan
nyawanya sendiri. Mungkin ada harganya bagi kamu.
Demang Lehman : Seretlah saya ke tiang gantungan, sekarang juga.
Residen : Itu
pekerjaan yang gampang. Nah, saya masih berikan kesempatan. Tubab, jaga dia.
(EXIT)
Tubab : Tugas
yang mengasikkan. (Mengambil tempat duduk residen)
Wanita Tiga : Demang
Demang Lehman : Bicaralah seperlunya.
Wanita Tiga : Demang
Lehman. Saya, saya Komalasari.
Demang Lehman : (Setelah memandang) Banua banjar ini, harus dipalas dengan banyu
darah!
Komalasari : Demang
Lehman pahlawanku
Tubab : (Berbuat sebagai wayang kulit banjar)
Demang Lehman : (Mengancam tubab) Engkau kira saya ini sebuah boneka mainan
kanak-kanak?! (Merenggut kerah leher tubab) Anjing Kompeni! Kau tidak mau sadar, bahwa engkaulah boneka mainan itu!
(Melepasnya) Saya kasihan melihatmu. Bagaimana nasibmu nanti, apabila Walanda
yang kamu pertuan itu, sudah angkat kaki dari Bumi Haram Manyarah ini! Keluar!
Tubab : (Agak ketakutan. tapi ia malah tidak mematuhi
perintah demang lehman. diambilnya tempat duduk yang lain)
Wanita Tiga :
Demang Lehman, Bersabarlah.
Demang Lehman : Dan Engkau, ada keperluan apa datang ke ruangan haram ini?
Wanita Tiga : Saya
hanya ingin tahu, apakah benar Tuan Residen telah memberikan keampunan atas
diri Demang?
Demang Lehman : Memilih dari salah satu alternatif, yakni digantung atau mengomandokan
dihentikannya perang.
Wanita Tiga :
Lalu
bagaimana dengan Demang?
Demang Lehman : Engkau toh tidak punya kepentingan dalam pilihan saya ini.
Wanita Tiga : Demang,
barangkali belum tahu isi surat Raja Gusti Mat Seman dari Hulu Sungai Teweh.
Demang Lehman : Kau banyak tahu dalam soal-soal pemerintahan kerajaan Banjar? Siapa
Kamu sebenarnya?
Wanita Tiga : (Mengambil surat yang terletak di atas meja)
Ini Surat itu (Menyerahkannya)
Demang Lehman : Surat ini kau sendiri yang membawanya?
Wanita Tiga : Bacalah
Demang Lehman : (Membaca) Kenapa mesti begini? Gila!
Wanita Tiga : Paduka
Raja Gusti Mat Seman, punya pandangan jauh ke depan. Nah, apabila Demang
memilih jalan kompromi, tentunya rakyat tidak akan dibinasakan oleh Versvijck.
Keadilan, kedamaian, kemakmuran dan kesejahteraan yang merata, yang selama ini
kita buru-buru, pasti akan menjadi suatu kenyataan.
(Lirih) Korban di
pihak kita sudah terlalu banyak. Mayat di atas mayat, air mata dan darah.
Kelaparan, kemiskinan dan malapetaka lainnya silih berganti menerkam kita.
Pilihlah kompromi itu, Demang.
Demang Lehman : (Matanya jalang sekilas
hampir curiga)
Wanita Tiga : Demang
masih ingat peristiwa senja di sungai batang? (Meredup dan susuk terhenyak)
Tapi peristiwa senja itu, sudah lama
berlalu. Lama sekali. Satiu peristiwa remaja kita yang dimabuk
cinta.......Idis.
Demang Lehman : Engkau.........
Wanita Tiga : Ya,
Akulah Sari itu
Demang Lehman : Sari,
Wanita Tiga : Idis
Demang Lehman : (Baru sadar bahwa orang yang
di berada belakangnya adalah Syarif Hamid dan Residen) Kamu Syarif Hamid?
Residen : Betul
sekali. Dia sekarang Raja. Raja di negeri kaya. Batulicin tempat istananya.
Demang Lehman : Penghianat....!!!
Syarif Hamid : Anta
jangan dendam pada Ana, percayalah Anta, apa sebab Ana berbuat begitu. Ini
semata untuk kepentingan rakyat dan kepentingan Islam itu sendiri.
Demang Lehman : Para arwah leluhurku, akan mengutukmu! Orang seperti kamu, tidak pantas
diiberi ampun!
Wanita Tiga : Demang,
jangan salah tuduh Demang. Pangeran ini justru membelamu.
Demang Lehman : Dialah yang menipuku. Dialah yang memperalat rakyat untuk menangkapku.
Dijebaknya aku, di saat Aku payah dan sakit. Kedua senjataku dirampasnya.
Singkirkan kerisku, dan kalibelah tombakku. Padahal kedua senjata itu, adalah
pusaka warisan yang diberikan oleh Raja Banjar yang syah, Pangeran Hidayatullah
yang terbuang ke Cianjur.
Wanita Tiga : Kesampingkan
dulu dendam itu Demang. Diri Demang kan sudah dianggap bebas. Ayolah Demang.
Anak istri Demang sedang menunggu, sedang Aku sudah siap menjadi istrimu.
Residen : Ayolah.
Kita ke alun-alun. Saya akan umumkan bahwa kamu orang tidak jadi digantung.
Rakyat tentu akan senang.
Syarif Hamid : Bedug
maghrib, sebentar lagi akan berbunyi, tanda shalat akan dilaksanakan. Maafkan
atas kesalahan Ana.
Demang Lehman : Itu bukan suatu penyelesaian. Dan saya akan membuat perhitungan. Kalau
tidak di dunia, di akhirat pasti akan selesai.
15. DI PINTU LUAR TELAH TERDENGAR KERIBUTAN
ANTARA TUBAB DENGAN WANITA LAIN.
Wanita Dua : Saya
harus ketemu dia. Lepaskan. Lepaskan Saya.
Residen : Tubab.
Ada apa?
Tubab : Ada satu
lagi, Tuan.
Residen : Lepaskan
Dia.......Kau minta ditembak lagi hah?
Wanita Dua : (Masuk dengan mata jalang)
Wanita Tiga : Hei
Mastaniah. Kau bisa masuk ke tempat ini?
Wanita Dua : Kau kira
masuknya aku ke sini, licik seperti kamu? Dan saya tidak ditembak mati, tanpa
menjual kehormatan seperti Kamu. Pelacur!
Wanita Tiga : Hati-hati
dengan mulutmu itu!
16. DENGAN KETUKAN-KETUKAN TONGKATNYA SAMBIL
BERKOMENTAR SENDIRI, MENYEBABKAN SI TUBAB DIMARAHI DAN DIBENTAK RESIDEN.
Tubab : Dan
ternyata memang benar. Pertentangan itupun berawal dari adu argumentasi, antara
dua orang wanita pribumi saja. Entah iru, entah dengki. Entah cemburu, entah
pahitnya empedu. Semua kita memang belum tahu.
Residen : Tubab!
Tubab : Siap
menunggu Bell
Residen : Diam di
tempatmu!
Wanita Tiga : Aku
bangga, kamu bisa menerobos barisan serdadu Marsose di pos jaga itu. Aku
benar-benar bangga, sekalipun kewanitaanku telah kau corengi arang.
Residen : Saya
sudah mengerti duduk persoalannya. Baik. Tenang saja. Tidak usah bertengkar.
Orang yang kalian anggap pahlawan itu, adalah kesayangan kalian. Dan saya cukup
memahaminya. Tidak usah sedih dan
tidak usah risau. Dia toh tidak akan digantung. Dia akan segera di bebaskan.
Wanita Dua : Saya
tidak sependapat.
Residen : Apa kamu
bilang? Tidak sependapat?
Wanita Dua : Demang,
jadilah pahlawan yang mati di tiang gantungan Demang.
Residen : Ternyata
kamu orang seoramng perempuan gila.
Wanita Dua : Demang
tidak boleh tergoda oleh janji-janji.
Residen : Kamu
orang jangan membuat pendiriannya goyah kembali. Dia sudah meminta maaf kepada
kompeni.
Wanita Dua : Demang
tidak boleh meminta maaf. Demang tidak pernah bersalah. Sebab apabila Demang
gentar menghadapi tiang gantungan itu, berarti Demang akan mencelakakan anak
cucu di Banua Banjar ini.
Residen : Omongan
apa pula itu, hah?
Wanita Dua : Demang
tidak boleh mewariskan nilai-nilai kepengecutan. Percayalah Demang. Generasi
nanti, akan menjadi generasi banci. Demang, hadapilah kematian di tiang
gantungan itu dengan gagah dan berani. Sebab dengan kematian berarti suatu
kebebasan.
Residen : Tutup
mulut kamu itu!
Wanita Dua : Darah
dan air mata rakyat, adalah harta warisan yang paling mulia. Demang, Demang
tidak boleh takut. Haram Manyarah! Waja Sampai kaputing!
Residen : (Mengancam) kau minta ditembak, hah?!
Demang Lehman : Residen. Jangan ancam dia. Kamu boleh menggantung saya, tapi jangan
perlakukan dia dengan kekejaman.
Residen : Ohoo,
akhirnya kamu punya perasaan juga. Gud. Saya tidak akan menembak dia, kalau
kamu menghendakinya.
Wanita Dua : Saya
rela dengan kematian saya, tapi Demang tidak boleh menghentikan perlawanan.
Residen : Kamu
masih juga lancang, hah?
Demang Lehman : Semua ini, berpangkal dari ambisi dan nafsu serakahmu, Syarif Hamid (Berang).
Wanita Tiga : Demang,
jangan salah faham. Syarif Hamid ini, justru berpihak pada Demang.
Wanita Dua : (Kepada Wanita Tiga) Kamu juga pembunuh! Pembunuh
hati nurani.
Demang Lehman : Kita harus mati bersama hari ini. Kubunuh Kamu! (Mencekik leher
Syarif Hamid)
Wanita Tiga : Demang.
Jangan membunuh sekutu Walanda! Berbahaya! Lepaskan Dia! Residen. Selamatkanlah
Syarif Hamid.
Residen : (Buru-burru mengambil pistolnya) Hentikan! Lepaskan Dia! Tidak melepasnya,
berarti kamu memilih mati di sini!
Demang Lehman : Baik. Saya tidak akan membunuhnya. Dan Saya pun tidak ingin mati di
ruang tertutup ini.
Wanita Dua : Tapi
wanita murah ini, harus mati di ruangan ini! (Mencekik lehernya)
Residen : Atau
kamu orang yang harus saya tembak? Lepaskan dia!
Demang Lehman : Benar. Lepaskan Dia.
Wanita Dua : Tidak
akan saya lepaskan dia! Wanita munafik! Hibah warisnya, justru akan melunturkan
rasa kebangsaan! Memalukan! Kau harus mati!
Residen : Kurang
ajar! (Menembaknya)
Wanita Dua : (Terhuyung-huyung, karena salah satu punggungnya ditembus peluru)
Demang Lehman : Residen. Kau tembak Dia?! (Proses dengan tempo yang panjang).
Residen : Saya
harus berbuat apa Demang? Saya, saya justru bermaksud tidak menghendaki kematian Demang.
Wanita Tiga : Demang
Lehman (Mengambil Naskah Pernyataan). Kita
akan meraih masa depan yang lebih baik bukan? Dan Demang tidak menghendaki
kematian rakyat yang tidak berdosa tentunya.
Syarif Hamid : Dengan
ditandatanganinya surat pernyataan itu, akan tentramlah persahabatan antar
bangsa.
Demang Lehman : Tapi dibalik itu, isi perut bumi kami terkuras untuk mempercantik
negeri bangsa-bangsa itu. Dan kamu (kepada Syarif hamid) telah menyembunyikan bisa taringmu itu, di
balik gunung mesiu serdadu Belanda. Penjilat! Penipu! (Merobek Naskah
Pernyataan)
Residen : Demang
lehman! Kamu robek itu surat pernyataan? Penghinaan! Kurang ajar!
17.
SPACE RUANG TUNGGU
Tubab : Saya
bingung. Semua orang juga bingung! Bingung, bingung dan bingung!
18.
SPACE RUANG KERJA
Residen : (Marah Hampir Tak Terkedalikan) Tubab...........!!
(Bell)
Tubab : Siap!
(Muncul) saya siap di samping tuanku!
Residen : Demang
Lehman. Kami akan catat, tidak kenal arti kompromi. Dan saya salah satu
pengikut dan pewarisnya yang patuh.
Residen : Borgol
kembali!
Demang Lehman : Tidak perlu, dan saya tidak akan lari! Tuan Residen. Aksi teror Tuan
hari ini, akan membuat senjata tuan memakan tuan sendiri. Giringlah saya ke
tiang gantungan itu.
B E D U G : (Terdengar dari kejauhan)
Wanita Tiga : Demang
lehman, Kau akan digantung?
Wanita Dua : Kau tidak
akan mati, pahlawanku. Percayalah....semangatmu,.......(Mati)
Residen : Seret
Dia!
Tubab : (memperlakukan dengan tidak wajar)
Demang Lehman : Jangan perlakukan saya, seperti hewan. Sana. Siapkan tali gantungan
itu! Anjing Walanda!
Tubab : (Tampak seperi seorang kerdil)
19. PADA SPACE B DI TIANG GANTUNGAN.
DI ANTARA DUA TIANG GANTUNGAN, SEORANG
PETUGAS MENUTUP MUKA DEMANG LEHMAN, KEMUDIAN MEMASANGKAN KALUNG TALIU KE
LEHERNYA!
Residen : Untuk
ucapanmu yang terakhir, masih saya beri kesempatan. Silahkan!
Demang Lehman : (Melepaskan Tutup Mukanya)
Panambahan Amiruddin Khalifatullah Mu’minin
Pangeran Antasari almarhum telah menghibahkan rasa jijiknya kepada setiap
unsurpenjajahan di muka bumi ini. Dan dengan kematian saya hari ini, saya telah
buktikan hibah waris itu. Semua kita
harus bebas dari najis. Harus bebas dari kemunafikan!
Dangar-dangar
barataan....
Banua
Banjar Kalo Kahada Dipalas Lawan Banyu Mata Darah
Marikit
Dipingkuti Kompeni Walanda!
Haram
Manyarah! Waja Sampai Kaputing!
(Begitu
Residen Memberi Abah-abah menarik trap berpijaknya Demang Lehman, layarpun
tergelar ke bawah. Tampak bayangan tubuh terkulai di tali gantungan)
20. PADA SPACE PRIBUMI TERJADI KEHARUAN DAN
PERGOLAKAN
Wanita Satu : Tidak
benar dia mati. Tidak benar dia mati! (Tersedu sedan karena haru) Tidak benar dia mati, Jiwanya dan
semangatnya selalu ada pada kita. (tertangis) Kita harus lanjutkan perjuangan ini.......
Tapi kita tidak boleh menangis. Yah, kita
tidak boleh menangis. Lebih baik kita susun barisan Haram Manyarah, Waja Sampai
Kaputing! Kita susun
serapi-rapinya. Kita akan lawan serdadu, marsose, walau kita sampai
mati..............!!!!
(Semua
Pejuang Bergerak)
Haram Manyarah,
Orang-orang : Haram Manyarah, Waja Sampai Kaputing!
==SELESAI==
Revisi
Naskah, Juni 2007
Dari Naskah
September 1986
Penulis H.
Adjim Arijadi